Senin, 07 September 2009

jurnal global warning

I. Pengantar.
Pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim (climate change) belum menjadi mengedepankan dalam kesadaran multipihak. Pemanasan global (global warming) telah menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia, terutama negara yang mengalami industrialisasi dan pola konsumsi tinggi (gaya hidup konsumtif).
Tidak banyak memang yang memahami dan peduli pada isu perubahan iklim. Sebab banyak yang mengatakan, memang dampak lingkungan itu biasanya terjadi secara akumulatif. Pada titik inilah masalah lingkungan sering dianggap tidak penting oleh banyak kalangan, utamanya penerima mandat kekuasaan dalam membuat kebijakan.
Perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming), pemicu utamanya adalah meningkatnya emisi karbon, akibat penggunaan energi fosil (bahan bakar minyak, batubara dan sejenisnya, yang tidak dapat diperbarui). Penghasil terbesarnya adalah negeri-negeri industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Kanada, Jepang, China, dll. Ini diakibatkan oleh pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat negera-negara utara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari penduduk negara selatan.
Untuk negara-negara berkembang meski tidak besar, ikut juga berkontribusi dengan skenario pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan. Memacu industrilisme dan meningkatnya pola konsumsi tentunya, meski tak setinggi negara utara. Industri penghasil karbon terbesar di negeri berkembang seperti Indonesia adalah perusahaan tambang (migas, batubara dan yang terutama berbahan baku fosil). Selain kerusakan hutan Indonesia yang tahun ini tercatat pada rekor dunia ”Guinnes Record Of Book” sebagai negara tercepat
yang rusak hutannya.
Menurut temuan Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC). Sebuah lembaga panel internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Sebuah lembaga dibawah PBB, tetapi kuasanya melebihi PBB. Menyatakan pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu di dunia 0,6-0,70 sedangkan di Asia lebih tinggi, yaitu 10. selanjutnya adalah ketersediaan air di negeri-negeri tropis berkurang 10-30 persen dan melelehnya Gleser (gunung es) di Himalaya dan Kutub Selatan.
Secara general yang juga dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia. Serta meningkatnya cuaca secara ekstrem, yang tentunya sangat dirasakan di negara-negara tropis. Jika ini kita kaitkan dengan wilayah Indonesia tentu sangat terasa, begitu juga dengan kota-kota yang dulunya dikenal sejuk dan dingin makin hari makin panas saja. Contohnya di Jawa Timur
bisa kita rasakan adalah Kota Malang, Kota Batu, Kawasan Prigen Pasuruan di Lereng Gunung Welirang dan sekitarnya, juga kawasan kaki Gunung Semeru. Atau kota-kota lain seperti Bogor Jawa Barat, Ruteng Nusa Tenggara, adalah daerah yang dulunya dikenal dingin tetapi sekarang tidak lagi.
Meningkatnya suhu ini, ternyata telah menimbulkan makin banyaknya wabah penyakit endemik “lama dan baru” yang merata dan terus bermunculan; seperti leptospirosis, demam berdarah, diare, malaria. Padahal penyakit-penyakit seperti malaria, demam berdarah dan diare adalah penyakit lama yang seharusnya sudah lewat dan mampu ditangani dan kini telah mengakibatkan ribuan orang terinfeksi dan meninggal. Selain itu, ratusan desa di pesisir Jatim terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, indikatornya serasa makin dekat saja jika kita tengok naiknya gelombang pasang di minggu ketiga bulan Mei 2007 kemarin. Mulai dari Pantai Kenjeran, Pantai Popoh Tulungagung, Ngeliyep Malang dan pantai lain di pulau-pulau di Indonesia.
Untuk negara-negara lain meningkatnya permukaan air laut bisa dilihat dengan makin tingginya ombak di pantai-pantai Asia dan Afrika. Apalagi hal itu di tambah dengan melelehnya gleser di gunung Himalaya Tibet dan di kutub utara. Di sinyalir oleh IPCC hal ini berkontribusi langsung meningkatkan permukaan air laut setinggi 4-6 meter. Dan jika benar-benar meleleh semuanya maka akan meningkatkan permukaan air laut setinggi 7 meter pada tahun 2012. Dan pada 30 tahun kedepan tentu ini bisa mengancam kehidupan pesisir dan kelangkaan pangan yang luar biasa, akibat berubahnya iklim yang sudah bisa kita rasakan sekarang dengan musim hujan yang makin pendek sementara kemarau semakin panjang. Hingga gagal panen selain soal hama, tetapi akibat kekuarangan air di tanaman para ibu-bapak petani banyak yang gagal.
Lantas dengan situasi sedemikian rupa apa yang dibutuhkan oleh dunia kecil “lokal” dan kita sebagai individu penghuni planet bumi? Yang dibutuhkan adalah REVOLUSI GAYA HIDUP, sebab dengan demikian akan mengurangi penggunaan energi baik listrik, bahan bakar, air yang memang menjadi sumber utama makin berkurangnya sumber kehidupan.
Selain itu perlunya melahirkan konsesus yang membawa komitmen dari semua negara untuk menegakkan keadilan iklim. Seperti yang sudah dilakukan oleh Australia yang mempunyai instrumen keadilan iklim, melalui penegakan keadilan iklim dengan membentuk pengadilan iklim. Dimana sebuah instrumen yang mengacu pada isi Protokol Kyoto yang menekankan kewajiban pada negara-negara Utara untuk membayar dari hasil pembuangan emisi karbon mereka untuk perbaikan mutu lingkungan hidup bagi negara-negara Selatan.
Dalam praktek yang lain saatnya kita mulai menggunakan energi bahan bakar alternatif yang tidak hanya dari bahan energi fosil, misalnya untuk kebutuhan memasak. Menggunakan energi biogas (gas dari kotoran ternak) seperti yang dilakukan komunitas merah putih di Kota Batu. Desentraliasasi energi memang harus dilakukan agar menghantarkan kita pada kedaulatan energi dan melepas ketergantungan pada sentralisasi energi yang pada akhirnya harganya pun makin mahal saja.
Sedangkan untuk para pengambil kebijakan harusnya mengeluarkan policy yang jelas orientasinya untuk mengurangi pemanasan global. Misalnya menetapkan jeda tebang hutan di seluruh Indonesia agar tidak mengalami kepunahan dan wilayah kita makin panas. Menghentikan pertambangan mineral dan batubara seperti di Papua, Kalimantan, Sulawesi, hal ini bisa dilakukan dengan bertahap mulai dari meninjau ulang kontrak karyanya terlebih dahulu. Selanjutnya kebijakan progressive dengan mempraktekkan secara nyata jeda tebang dan kedaulatan energi harus dilakukan jika kita tidak mau menjadi kontributor utama pemanasan global.
Iklim memang mengisi ruang hidup kita baik secara individu maupun sosial, maka tidak mungkin menegakkan keadilan iklim tanpa melibatkan kesadaran dan komitmen semua pihak. Bahwa tidak bisa dibantah, kita hidup dalam ekosistem dunia “perahu” yang sama, sehingga jika ada bagian yang bocor dan tidak seimbang, sebenarya ini merupakan ancaman bagi seluruh isi perahu dan penumpangnya. Maka merevolusi gaya hidup kita untuk tidak makin konsumtif sangat mendasar dilakukan sekarang juga oleh seluruh umat manusia. Sebab dengan begitu kita bisa menempatkan apa yang kita butuhkan bisa ditunda tidak, yang harus kita beli membawa manfaat atau tidak dan apakah yang kita beli bisa digantikan oleh barang yang lain yang ramah lingkungan?
Ini semua adalah cerminan bagi mereka yang berusaha dan sadar sepenuh hati demi keberlanjutan kehidupan sosial (sustainable society) yang berkeadilan secara sosial, budaya, ekologis dan ekonomi. Inilah tindakan nyata untuk meraih kedaulatan energi dan melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil yang sekarang telah dikuasai oleh korporasi modal. Sekarang siapapun bisa memilih, mau jadi kontributor pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim dan suhu yang makin panas? Atau mau menjadi bagian dari pelaku ”penyejukan global” dengan mengubah pola konsumsi dan gaya hidup dari sekarang juga?











Laporan Greenpeace mengungkapkan Biaya ketergantungan Indonesia terhadap Batubara yang sebenarnya
Laporan Biaya Batubara SebenarnyaJakarta,

Indonesia — Greenpeace pagi ini meluncurkan laporannya yang berjudul “Biaya Batubara yang Sebenarnya” (1) pada sebuah jumpa pers di Jakarta yang digelar bersama dengan koalisi Anti-Batubara. Koalisi Anti-Batubara terdiri dari beberapa organisasi termasuk KAM Cilacap, JATAM, Walhi, Sekolah Demokrasi Ekonomi dan Greenpeace telah memulai sebuah kampanye menentang pembangunan baru atau perluasan pembangkit listrik bertenaga batubara di Indonesia. Laporan utama ini menjelaskan secara rinci biaya-biaya eksternal yang ditanggung oleh masyarakat sekitar dan iklim global akibat ketergantungan bahanbakar yang paling kotor dan paling menyebabkan polusi. Batubara adalah sebab dominan emisi karbondioksida (CO2). Batubara mungkin adalah bahanbakar murah di pasaran, tetapi hanya karena sebagian besar biaya penggunaannya di-eksternalisasi. "Biaya-biaya eksternal" ini termasuk penyakit pernafasan, kecelakaan-kecelakaan tambang, hujan asam, polusi asap, penurunan panen pada pertanian dan perubahan iklim. Rencana energi nasional pemerintah Indonesia yang salah arah untuk menambah sekitar 10.000 MW listrik dari tenaga batubara untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia adalah bertentangan dengan segala usaha menyelamatkan lingkungan kita dan menghentikan perubahan iklim. Menanggapi rencana Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral untuk membangun 35 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bertenaga batubara dalam dua tahun mendatang, Greenpeace menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk memilih energi bersih dan terbarukan dan bukan tenaga batubara yang kotor. "Indonesia mungkin saja mempunyai sumberdaya batubara yang melimpah tapi pada saat yang sama juga memiliki sumberdaya panas bumi, angin dan surya (2) yang belum dimanfaatkan, yang lebih cocok dengan kebutuhan negarakepulauan dibanding dengan sistem pembangkitan bahanbakar fosil yang kotor dan terpusat. Tapi pengembangan potensi energi terbarukan di negri ini dikalahkan dengan industri batubara yang menguasai kementrian energi kita," kata Arif Fiyanto, juru kampanye Iklim, Greenpeace Asia Tenggara. PLTU Indonesia sudah mengakibatkan dampak buruk pada kesehatan dan penghidupan masyarakat sekitarnya. Pada bulan Februari, Greenpeace bersama masyarakat terdampak di Cilacap, Jawa Tengah, mengkaji dampak PLTU terhadap kesehatan dan lingkungan. Sekitar 90% dari masyarakat menderita masalah permafasan dan nelayan setempat melaporkan penurunan tangkapan. "Indonesia telah teridentifikasi dalam laporan-laporan terakhir sebagai salah satu negara yang beresiko paling menderita akibat perubahan iklim, dengan Jakarta sebagai kota paling rentan di Asia Tenggara. Batubara berdampak terhadap kesehatan manusia, merampas penghidupan dan menyebabkan perubahan iklim. Indonesia membutuhkan revolusi energi sekarang!" kata Galih Aji Prasongko, dari Solar Generation Indonesia, Greenpeace.
Komentar/ tanggapan saya:
Menurut saya apa yang dilaporkan greenpeace sangat masuk akal. Ketidakseriusan pemerintah dalam mengatasi krisis listrik malahan mengorbankan lingkungan sebagai dampaknya. Kedepan diharapkan pemerintah juga menaruh perhatian kepada sektor pengusaha batubaa agar amdal dari pengeboran batubara tersebut tidak menggangu lingkungan sekitarnya.




Sinar Mas - ‘Forest and Climate Criminal’
March 19, 2009

Aktivis Greenpeace membentangkan spanduk besar 20 x 10 meter di Gedung Sinar Mas pada 19 Maret 2009. Aktivis Greenpeace mengunci diri di depan kantor pusat Sinar Mas untuk menghentikan kegiatan mereka sampai mereka berkomitmen untuk menghentikan kegiatan penghancuran hutan terakhir di Indonesia.
Jakarta, Indonesia — Para aktivis Greenpeace dipukul dan ditendang secara kasar pagi ini saat melakukan aksi damai di kantor pusat perusahaan kelapa sawit terbesar Indonesia, Sinar Mas Group. Greenpeace menuntut penghentian terus berlangsungya pengrusakan hutan Indonesia yang tersisa, oleh perusahaan ini.
Dua puluh lima aktivis Greenpeace merantai diri mereka menutupi jalan masuk ke gedung tersebut, sementara para pemanjat memasang spanduk raksasa berukuran 20m x 10m banner untuk melabe Sinar Mas sebagai ‘Penjahat Hutan dan Iklim’. Polisi kemudian tiba di lokasi dan memindah secara paksa para aktivis keluar gedung Sinar Mas.

Greenpeace telah memonitor operasi Sinar Mas di Riau, Kalimantan Barat dan Papua selama beberapa tahun terakhir dan baru-baru ini mendapatkan bukti baru pengrusakan yang terus dilakukan oleh Sinar Mas Group di wilayah ini. Sinar Mas juga bersiap untuk melakukan ekspansi besar-besaran karena mereka menguasai wilayah hak konsesi yang belum ditanami seluas 200,000 hektar berupa hutan dan rencana untuk mendapatkan konsesi seluas 1,1 juta hektar lagi, sebagian besar di Papua. Selanjutnya, organisasi hak azasi manusia telah menyatakan keprihatinannya akan tekanan yang dilakukan terhadap masyarakat yang melakukan protes terhadap APP (milik Sinar Mas) di Suluk Bongkal, Riau di akhir tahun lalu.

“Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono telah mengatakan pada dunia internasional bahwa dia akan mengurangi emisi gas rumahkaca Indonesia, tetapi Sinar Mas terus melakukan pengrusakan hutan tanpa dihentikan. Jika SBY serius mengenai menjadikan Indonesia sebagai pemimpin global dalam mengatasi krisis iklim, dia harus mengambil tindakan segera untuk menghentikan perusahaan ini menghancurkan asset Indonesia yang terbesar – hutan dan lahan gambut yang kaya dengan karbon,” kata Bustar.

Greenpeace menyerukan penghentian semua ekspansi hutan dan lahan gambut oleh Sinar Mas dan perusahaan lain. Selanjutnya, Greenpeace juga menyerukan pemerintah Indonesia untuk segera menerapkan moratorium terhadap segala bentuk konversi hutan. Hal ini tidak hanya membantu memangkas emisi gas rumahkaca Indonesia, tetapi juga akan menjaga kekayaan keanekaragaman tropis dan melindungi penghidupan masyarakat yang bergantung pada hutan di seluruh Indonesia.

Pemerintah perlu mengambil tindakan untuk melindungi masyarakat Indonesia dari dampak perubahan iklim dengan mengurangi emisi sebanyak 75% pada tahun 2012 dan mendorong negara-negara industri untuk membiayai pengurangan deforestasi dan juga mengurangi emisi mereka sendiri secara dramatis.
Komentar saya:
Apa yang dilakuakan sinar mas menurut saya adalah salah santu contoh potret buruk yang dipertontonkan para pengusaha –pengusaha besar yang tidak memikirkan kepentingan rakyat banyak apalagi yang paling terkena imbas biasanya rakyat kecil. Pemerintah harus tegas mengusut masalah ini sehingga ke depan para pengusah kayu kapok untuk melakukan pembalakan liar.









KTT Perubahan Iklim Habiskan 30 juta Liter Air
Detik.com kamis 24 desember 2008
Bali- Provinsi Bali yang kerap menjadi tuan rumah bagi konferensi internasional, tidak hanya membawa dampak yang baik bagi citra pariwisata Bali namun juga berdampak negatif bagi supply-demand sumber daya alam Bali.

Hal ini terungkap pada Lokakarya dan Diskusi ”Pasca Konferensi PBB Tentang Perubahan Iklim dan Tindak lanjut Kampanye Nyepi Untuk Dunia” yang dilaksanakan oleh Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim hari ini (19/02/2008).

”Ternyata hasil dari konferensi yang berupa Bali Action Plan masih merupakan rekomendasi dan memerlukan pembahasan jangka panjang, tidaklah sebanding dengan biaya ekonomi yang telah dikeluarkan dan biaya lingkungan yang harus ditanggung oleh Bali selaku tuan rumah”, ungkap Hira Jhamtani selaku wakil Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim.
”Jika menggunakan asumsi yang paling minim, yakni peserta berjumlah 3.000 orang saja maka air yang dibutuhkan 30 juta liter selama 10 hari konferensi. Pertanyaannya, jatah air petani atau masyarakat kecil mana yang diambil untuk memasok kebutuhan peserta konferensi?” dia menambahkan.
Aktivis yang juga aktif dalam lobi-lobi internasional ini justru mengajak peserta lokakarya yang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, seperti rohaniawan, pemerintah, LSM, pemuda mahasiswa dan akademisi ini, untuk mengalihkan perhatian kepada hal yang lebih penting yakni mengantisipasi dampak perubahan iklim pada lokal Bali sendiri.
Tanpa harus menunggu Bali Action Plan selesai dibuat yang sudah pasti akan memakan waktu yang panjang, pemerintah Bali seharusnya mulai menyusun rencana aksi daerah untuk menyiapkan langkah adaptasi dan mitigasi bagi Bali yang merupakan pulau rentan.Dalam kesempatan lokakarya ini, kolaborasi yang diwakili oleh kesekretariatan, Kadek Lisa juga memaparkan laporan kegiatan dan laporan keuangannya kepada peserta sebagai bentuk pertanggungjawaban publik dari KBCC yang telah membawa pesan masyarakat Bali.
”Kami mempunyai tanggung jawab moral kepada masyarakat Bali untuk menyampaikan hal yang telah kami lakukan dalam membawa Nyepi yang merupakan hak kolektif dari masyarakat Bali. Untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas, kami juga mengundang pihak yang berkeinginan untuk mendapatkan laporan Kolaborasi secara lengkap, dapat menghubungi sekretariat” ungkap Ni Nyoman Sri Widhiyanti, Direktur Eksekutif WALHI Bali.
”Lewat kegiatan ini kami meminta masukan dari masyarakat Bali mengenai bagaimana kira-kira tindakan yang efektif untuk melanjutkan kampanye World Silent Day ini ke dunia internasional.” Tambahnya
Komentar : Menurut saya selayaknya para elite pejabat-pejabat dunia seharusnya memberi contoh kepada masyarakat tentang kampanye hidup sehat , bukanya malahan melakukan pemborosan yang tidak perlu. Maka wajar bila masyarakatnya bersikap apatis karena tidak adanya keteladanan dari para elite pejabat.

Dampak Perubahan Iklim pada Kesehatan
Kamis, 31 Juli 2008 - by : admin

Perubahan iklim berdampak langsung dan tidak langsung pada kesehatan manusia. Imbasnya tergantung pada kawasan dan struktur ekonomi sosial masyarakat dunia.
Tepat lima tahun lalu, yaitu tahun 2003, kawasan Eropa mengalami musim panas yang sangat ekstrem. Antara bulan Mei sampai Augustus, suhu udara berulang kali mencapai rekor 40 derajat Celcius lebih. Di sebagian kota besar Eropa, aspal trotoar sampai mencair. Permukaan air danau dan sungai turun drastis. Karena kelangkaan air, sejumlah negara melarang warganya menyiram taman atau mencuci mobil.
Setiap hari, media melaporkan kasus kematian karena cuaca yang terlalu panas. Di Jerman saja, 7.000 orang diduga tewas karena fenomena cuaca ini. Profesor Gerd Jendritzky, pakar cuaca yang meneliti dampak perubahan iklim pada kesehatan manusia memaparkan: “Ini membuktikan bahwa suhu udara berkaitan langsung dengan kesehatan manusia. Angka kematian hanya mendata sebagian korban fenomena alam ini. Ribuan lainnya menderita karena suhu yang panas, banyak yang masuk UGD dan harus dirawat di rumah sakit. Warga usia lanjut perlu perawatan khusus dan obat-obatan. Orang-orang yang sehat pun kewalahan dan kinerjanya menurun.
“Di seluruh Eropa, jumlah korban tewas akibat cuaca di musim panas 2003 adalah 55.000 orang. Sebagian besar di antaranya warga usia lanjut. Mereka mengalami stroke atau gangguan pada pernafasan. Di kota-kota besar, suhu tinggi menyebabkan udara panas terperangkap dan mengikat zat-zat beracun. Tingkat polusi udara pun naik jauh di atas rata-rata. Skenario ini menunjukkan apa yang akan terjadi dalam 50 sampai seratus tahun ke depan bila dampak perubahan iklim tak dapat diredam, kata Profesor Gerd Jendritzky.
“Musim panas tahun itu adalah yang terpanas dalam 450 tahun terakhir. Ini betul-betul fenomena alam yang sangat jarang terjadi. Menurut simulasi komputer mengenai perubahan iklim, suhu dalam trimester terakhir abad ini kira-kira sama dengan musim panas 2003. Fenomena alam itu berubah menjadi standar suhu udara rata-rata hanya dalam dua generasi saja.“
Menurut Profesor Gerd Jendritzky, musim panas 2003 hanya merupakan satu contoh dampak langsung perubahan iklim pada kesehatan manusia. Contoh lainnya adalah naiknya permukaan air laut dan badai tropis yang mengancam hidup manusia. Selain dampak langsung, pemanasan global juga berdampak tidak langsung pada manusia. Akibat kemarau panjang terjadi kelangkaan air dan pangan. Dampak susulannya adalah peningkatan penyakit infeksi yang tersebar melalui bahan pangan, air dan juga perantara lainnya seperti serangga.
Manusia memiliki kemampuan untuk hidup di kawasan dengan cuaca ekstrem dan kondisi berat sekalipun. Buktinya, manusia menetap di mana-mana, mulai dari warga Afrika yang hidup di gurun Sahara sampai Eskimo di kawasan Alaska yang tertutup lapisan es abadi. Ini dimungkinan karena kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
“Manusia dapat beradaptasi, tapi kemampuan untuk menyesuaikan diri itu terbatas. Terutama orang-orang yang kondisi tubuhnya lemah karena sakit atau usia lanjut, mereka lebih rentan terhadap perubahan iklim.“
Demikian diungkap Profesor Gerd Jendritzky, dosen kehormatan di Universitas Freiburg. Dalam penelitiannya ia menemukan bahwa dampak perubahan iklim akan dirasakan di seluruh kawasan dunia. Hanya saja, bentuknya berbeda-beda. Kenaikkan suhu udara rata-rata misalnya lebih dirasakan di kawasan dekat kutub. Kawasan tropis dan subtropis, yaitu daerah dekat Khatulistiwa, mengalami peningkatan kelembaban udara.
Parah atau tidaknya dampak perubahan iklim pada manusia tergantung dari komponen sosial ekonominya. Imbas perubahan iklim lebih dirasakan warga miskin dan penduduk negara berkembang daripada warga kelas menengah dan negara-negara maju, kata Gerd Jendritzky. Bandingkan saja situasi di negara dan maju bila menghadapi banjir. Misalnya di Belanda. Sebagian kawasan negara kincir angin terletak di bawah permukaan laut. Tapi negara itu jarang mengalami banjir karena tanggul dan sistem kanalisasinya berfungsi baik. Sebaliknya, di Asia, banjir selalu terjadi bila musim hujan tiba.
“Sebagian Bangladesh misalnya terletak satu meter di atas permukaan laut, tapi tiap kali negara itu dihantam badai kembali terjadi banjir besar-besaran. Bila terjadi bencana kekeringan, negara-negara maju tetap dapat membeli bahan pangan di pasar dunia walau harganya melambung. Dampak perubahan iklim memang akan lebih terasa di negara berkembang dan miskin dunia.“
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dari 600.000 orang yang tewas akibat cuaca yang ekstrem di tahun 90an, hampir 95 persen adalah penduduk negara miskin dan berkembang. Banyak korban meninggal karena dampak tidak langsung perubahan iklim. Misalnya, akibat penyakit Malaria yang mewabah. Cuaca tertentu mendukung penyebaran nyamuk yang membawa parasit penyebab Malaria. Saat ini, penyakit tersebut masih ditemukan antara lain di Afrika, Cina, Asia Tenggara dan Amerika Latin.
Sementara di kawasan Eropa, Amerika dan Australia, perubahan iklim akan membawa dampak yang berbeda. Setelah tahun 2003 cuaca ekstrem di Eropa menelan ribuan korban, pemerintah negara Eropa merumuskan kebijakan untuk mengantisipasi fenomena alam serupa.
“Cara-cara yang dapat dilakukan misalnya dengan mengubah tata kota, menambah jalur hijau dan menyesuaikan arsitektur gedung-gedung. Sebagian besar rumah adat dibangun sedemikian rupa sehingga sesuai dengan iklim atau cuaca setempat. Rumah-rumah harus disesuaikan agar tahan cuaca yang esktrem, baik itu suhu sangat dingin maupun sangat panas.“
Profesor Gerd Jendritzky menambahkan, pemerintah Jerman pun menarik pelajaran dari musim panas ekstrem tahun 2003. Waktu itu, tenaga medis dan rumah sakit kewalahan karena tidak dapat menampung ribuan pasien yang mengeluh karena sakit kepala atau bahkan pingsan karena cuaca panas. Kini, Jerman memiliki semacam sistem peringatan dini untuk perubahan cuaca yang terlalu esktrem.
Gerd Jendritzky menjelaskan : “Badan Meteorologi Jerman memiliki mekanisme pengawasan dan bila mereka mendeteksi suhu udara yang sangat tinggi, maka mereka meneruskan informasi itu pada instansi dan kementerian yang bersangkutkan. Langkah berikutnya adalah rumah sakit, panti jompo dan masyarakat luas. Pemerintah Jerman belajar dari pengalaman pahit tahun 2003 bahwa di masa depan masyarakat Jerman pun rentan terhadap perubahan iklim global.“
Sumber: http://www.acehutara.go.id/cetak.php?id=157
Komentar saya:
Menurut saya dampak perubahan iklim sudah sangat jelas. Dampak tersebut bukan saja berakibat pada negara2 maju saja melainkan juga negara-negara berkembang dan maju, oleh karenanya dibutuhkan kerja keras dan peran kerjasama antar negara agar tercipta suatu penaganan yang terpadu.
























-greenpeace website 25 desember 2008
Aktivis Greenpeace melakukan aksi di kapal yang memuat minyak kelapa sawit dari indonesia yang menuju Rotterdam dengan menulis "forest crime" di lambung kapal tanker Isola Corallo. Kapal ini memuat 29000 metrik ton minyak kelapa sawit mentah dari produsen minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia, Sinar Mas dengan tujuan eropa yang telah menjadi target greenpeace selama enam minggu yang lalu dari pelabuhan Dumai, Riau
Besarkan Gambar
Rotterdam, Belanda — Hari ini Greenpeace memprotes kedatangan minyak kelapa sawit menuju Rotterdam. Para aktivis mengecat lambung kapal Isola Corallo dengan tulisan “ Forest crime” ( Kejahatan Hutan) Kapal tanker tersebut memuat minyak kelapa sawit dari Sinar Mas, produsen minyak kelapa sawit terbesar Indonesia dan telah menjadi sasaran aksi Greenpeace enam minggu lalu di Dumai, Riau.
Investigasi Greenpeace paling mutakhir (1) mengungkapkan bukti bahwa perusahaan ini menghancurkan hutan dan lahan gambut dalam skala besar di Indonesia. Sinar Mas adalah pemasok perusahaan-perusahaan multinasional seperti Nestle, Unilever, Pizza Hut dan Burger King.
"Sinar Mas adalah penjahat iklim dan hutan," kata Suzanne Kröger, Juru Kampanye Hutan, Greenpeace Belanda. "Sementara pembicaraan dengan Greenpeace terus berlangsung, Sinar Mas terus merusak hutan Indonesia yang tersisa. Sekarang saatnya bagi perusahaan seperti Nestle dan Burger King untuk secepatnya membatalkan kontrak mereka dengan Sinar Mas bila mereka tidak mau dikatakan mendukung pengrusakan hutan dunia yang tersisa yang secara drastik mempercepat memburuknya perubahan iklim."
Perusahaan seperti Unilever, yang juga membeli minyak kelapa sawit Sinar Mas, mendukung seruan Greenpeace akan moratorium akan perluasan perkebunan kelapa sawit di hutan Indonesia yang tersisa. Greenpeace percaya bahwa cara efektif bagi perusahaan-perusahaan pembeli minyak kelapa sawit menunjukkan kesungguhan mereka adalah dengan membatalkan kontrak dengan perusahaan seperti Sinar Mas yang terus merusak hutan Indonesia demi kelapa sawit.
Indonesia adalah pengemisi gas rumahkaca ketiga di dunia (setelah Cina dan Amerika Serikat) yang sebagian besar berasal dari deforestasi. Ini bukan hanya bencana bagi iklim dan bagi masyarakat adat yang penghidupannya bergantung kepada hutan, tetapi juga bagi keanekaragaman hayati yang terancam punah seperi harimau Sumatra dan orangutan.
Menurut Bustar Maitar, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, "Jutaan hektar hutan alam akan ditebangi habis dan dibakar jika Pemerintah tidak mengambil tindakan segera. Pemerintah juga harus berhenti bersikap munafik: Mereka memberi konsesi kepada perusahaan yang lama telah memiliki sejarah penghancuran hutan, dan kemudian sekarang sibuk meminta dana kepada dunia internasional untuk menyelamatkan hutan. Agar layak mendapatkan dana perlindungan hutan, pemerintah harus menunjukkan kesungguhannya memperbaiki tata-kelola (governance) hutan dengan segera memberlakukan moratorium deforestasi agar perusahaan seperti Sinar Mas berhenti membuka semua hutan sebelum dana perlindungan diterima."
Proposal "Hutan untuk Iklim" oleh Greenpeace telah dipaparkan di pertemuan iklim Poznan awal bulan ini. Dokumen itu adalah cetak biru bagi masyarakat internasional untuk memulai pendanaan bagi perlindungan hutan sebagai langkah penting untuk menangani perubahan iklim. Negara-negara seperti Indonesia berharap untuk mendapatkan kompensasi bagi usaha mereka mengurangi deforestasi, sementara itu rencana perluasan perkebunan Sinar Mas termasuk hampir 2 juta hektar hutan alam di Papua dan Papua Barat serta pengrusakan hutan di Kalimantan dan Sumatra terus berlangsung.
Komentar saya: pendapat saya adalah lagi-lagi perusak lingkungan sekaligus pelaku perubahan iklim adalah para industri-industri besar yang notabene seharusnya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar. Sekali lagi saya katakan dibutuhkan ketegasan pemerintah dalam menindak para pengusaha-pengusaha besar yang sebenarnya menjadi pelaku perusak perubahan iklim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar